Selasa, 01 April 2014

Kenapa Ibu Tidak Shalat ??

Cerita ini saya peroleh dari seorang teman, seorang ibu yang punya pengalaman unik meladeni pertanyaan putri kecilnya yang saat itu baru berusia–sekitar–enam tahun.

Suatu saat, si ibu menyuruh anaknya shalat. Anaknya protes, “Kok, Ibu enggak shalat?”
Ibunya bingung mau menjawab apa. Ya, jelaslah ibunya cuma bisa menyuruh shalat tetapi dirinya sendiri tidak shalat, soalnya, si ibu sedang haid.

Bingung … bingung …

Akhirnya, si ibu bertanya ke kawannya, sesama ibu muda. Kira-kira, apa jawaban kawannya itu?

“Jelasin aja dengan cara sederhana. Bilang gini, ‘Kamu tahu ayam ‘kan? Ayam itu bertelur ‘kan? Kalau telur ayam enggak jadi anak ayam, nanti telurnya pecah. Nah, telur ibu sekarang sedang pecah.’”

Simpel ya!

Logika yang sederhana, ilmiah, dan mudah dipahami kanak-kanak:

Ayam punya telur -> Kalau telur tidak dierami maka telurnya pecah ->
Ibu juga punya “telur” di dalam ovarium -> Kalau tidak dibuahi dan tidak berkembang menjadi janin, telur itu pecah.

Itulah mekanisme menstruasi pada wanita.

Menjelaskan beragam pertanyaan si comel memang perlu ilmu dan trik tersendiri. Di satu sisi, kita diharapkan bisa menjawab keingintahuan si anak. Di sisi lain, waspadalah! Kalau sampai asal ngomong dan berprinsip “yang penting bisa jawab”, boleh jadi, logika yang kita sampaikan malah jadi bumerang yang berbalik menyerang kita.

Kalau contoh berikut ini, saya baca dari sebuah tulisan. Entah cerita nyata atau sekadar rekaan, tetap ada pelajaran penting untuk para ibu di dalamnya.

“Bu, ‘diperkosa’ itu apa?” seorang anak kecil bertanya kepada ibunya tentang makna “diperkosa”. Mungkin dia mendengar dari perkataan orang lain atau mungkin juga akibat nonton TV tanpa pengawasan orang tua.

Ibu mana yang tak bingung ketika harus menjawab pertanyaan seperti ini.

“Diperkosa itu artinya ‘dicium’,” begitulah jawaban si ibu, sekenanya.

Para ibu sekalian tentu tahu bahwa anak-anak itu memiliki daya rekam yang cepat. Gara-gara dibekali pengetahuan bahwa “diperkosa” itu sama dengan ‘dicium’, lihat saja kejadian setelahnya.

“Ibu … aku diperkosa Kakak!” si kecil berteriak dari dalam rumah. Sontak saja si ibu malu bukan kepalang. Tamu yang sedang dia jamu, langsung saja dia tinggalkan sebentar untuk melihat keadaan anaknya.

Ternyata, si kakak hanya mencium adiknya itu. Maklum, karena sudah pernah diajari ibunya bahwa “diperkosa” itu artinya ‘dicium’, si adik yang polos pun berteriak, “Ibu … aku diperkosa Kakak!” Padahal, kakaknya sekadar mencium ketika mereka sedang bermain-main.

Nah, kalau Anda yang ditanya oleh anak Anda tentang makna “diperkosa”, bagaimana jawaban Anda?

Bandar Universiti, 23 April 2011,
Athirah binti Mustadjab

http://athirahm.wordpress.com/2011/04/23/kenapa-ibu-tidak-shalat/


Imunisasi Syari’at: Memohonkan Perlindungan untuk Anak-Anak

Diantara metode Imunisasi Syari’at yang tidak diketahui oleh banyak umat Islam dan sering dilalaikan oleh orang yang mengetahui ialah dengan memohonkan perlindungan kepada Allah untuk anak-anak kita dari gangguan setan, binatang berbisa dan pengaruh ‘ain keji (mata keji).
 Padahal metode ini telah diajarkan semenjak zaman Nabi Ibrahim dan diamalkan oleh Nabi Muhammad.

“Dari sahabat Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah memohonkan perlindungan untuk cucunya Hasan dan Husain dengan berdoa, “Aku memohonkan perlindungan untukmu berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang Maha Sempurna dari setiap setan, binatang berbisa yang mematikan dan dari setiap (pengaruh) mata yang mendatang kerusakan.”

Dan Rasulpun berkata, “Ayahku Ibrahim dahulu juga memohonkan perlindungan untuk Ismal dan Ishak.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan dishahihkan oleh Al-Albani)

 Ini adalah salah satu imunisasi syari’at yang masih belum banyak diketahui oleh umat Islam, dan sering dilalaikan oleh orang yang telah mengetahuinya. Sungguh demi Allah, bila imunisasi syari’at ini kita amalkan dengan penuh keimanan dan penghayatan, niscaya anak-anak kita terlindung dari berbagai penyakit dan wabah.

Wahai saudaraku seiman dan seakidah! Cobalah anda bertanya kepada hati nurani sendiri: Percayakah anda dengan imunisasi syari’at ini?

Amalkanlah wahai saudaraku, niscaya Allah akan melindungi anak-anak anda dari berbagai petaka dan musibah.

Disalin dari buku Imunisasi Syari’at oleh Dr. Muhammad Arifin bin Badri, MA. -

See more at: http://jilbab.or.id/archives/date/2014/#sthash.Vn2HpJbD.dpuf

Senin, 24 Maret 2014

Adakah Anjuran Adzan Di Telinga Bayi yang Baru Lahir ???

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal

Alhamdulillah wash sholaatu was salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Kebanyakan buku atau kitab yang menjelaskan hal-hal yang mesti dilakukan ketika menyambut sang buah hati adalah amalan satu ini yaitu adzan dan iqomah di telinga bayi yang baru lahir. Bahkan bukan penulis-penulis kecil saja, ulama-ulama hebat pun menganjurkan hal ini sebagaimana yang akan kami paparkan. Namun, tentu saja dalam permasalahan ini yang jadi pegangan dalam beragama adalah bukan perkataan si A atau si B.

Yang seharusnya yang jadi rujukan setiap muslim adalah Al Qur’an dan hadits yang shohih. Boleh kita berpegang dengan pendapat salah satu ulama, namun jika bertentangan dengan Al Qur’an atau menggunakan hadits yang lemah, maka pendapat mereka tidaklah layak kita ikuti. Itulah yang akan kami tinjau pada posting kali ini. Apakah benar adzan atau iqomah pada bayi yang baru lahir disyari’atkan (disunnahkan)? Kami akan berusaha meninjau dari pendapat para Imam Madzhab, lalu kami akan tinjau dalil yang mereka gunakan. Agar tidak berpanjang lebar dalam muqodimah, silakan simak pembahasan berikut ini.





Pendapat Para Ulama Madzhab

Para ulama Hambali hanya menyebutkan permasalahan adzan di telinga bayi saja.

Para ulama Hanafiyah menukil perkataan Imam Asy Syafi’i dan mereka tidak menganggap mustahil perkataannya (maksudnya: tidak menolak perkataan Imam Asy Syafi’i yang menganjurkan adzan di telinga bayi, pen).

Imam Malik memiliki pendapat yang berbeda yaitu beliau membenci perbuatan ini, bahkan menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada tuntunannya.

Sebagian ulama Malikiyah menukil perkataan para ulama Syafi’iyah yang mengatakan bahwa tidak mengapa mengamalkan hal ini. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/779, pada Bab Adzan, Wizarotul Awqof, Asy Syamilah)

Ulama lain yang menganjurkan hal ini adalah Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnul Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud.

Inilah pendapat para ulama madzhab dan ulama lainnya. Intinya, ada perselisihan dalam masalah ini. Lalu manakah pendapat yang kuat?

Tentu saja kita harus kembalikan pada dalil yaitu perkataan Allah dan Rasul-Nya.
Itulah sikap seorang muslim yang benar. Dia selalu mengembalikan suatu perselisihan yang ada kepada Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana hal ini diperintahkan dalam firman Allah,

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Asy-Syuura : 10)

Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah, mengatakan, ”Maksudnya adalah (perkara) apa saja yang diperselisihkan dan ini mencakup segala macam perkara, maka putusannya (dikembalikan) pada Allah yang merupakan hakim dalam perselisihan ini. (Di mana perselisihan ini) diputuskan dengan kitab-Nya dan Sunnah (petunjuk) Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala pada ayat yang lain,

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).”(QS. An Nisa’ [4] : 59).
Yang (memutuskan demikian) adalah Rabb kita yaitu hakim dalam segala perkara. Kepada-Nya lah kita bertawakkal dan kepada-Nya lah kita mengembalikan segala urusan. –Demikianlah perkataan beliau rahimahullah dengan sedikit perubahan redaksi-.

Dalil Para Ulama yang Menganjurkan

Hadits pertama:

Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ

“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)

Hadits kedua:

Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ الصَّلَاةَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ

“Bayi siapa saja yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqomah di telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin (perempuan).

Hadits ketiga:

Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,

أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد ، فأذن في أذنه اليمنى ، وأقام في أذنه اليسرى

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman)

Untuk memutuskan apakah mengumandangkan adzan di telinga bayi termasuk anjuran atau tidak, kita harus menilai keshohihan hadits-hadits di atas terlebih dahulu.

Penilaian Pakar Hadits Mengenai Hadits-hadits Di Atas

Penilaian hadits pertama:

Para perowi hadits pertama ada enam,

مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِى عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِى رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ

yaitu: Musaddad, Yahya, Sufyan, ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, ‘Ubaidullah bin Abi Rofi’, dan Abu Rofi’.
Dalam hadits pertama ini, perowi yang jadi masalah adalah ‘Ashim bin Ubaidillah.

Ibnu Hajar menilai ‘Ashim dho’if (lemah). Begitu pula Adz Dzahabi mengatakan bahwa Ibnu Ma’in mengatakan ‘Ashim dho’if (lemah). Al Bukhari dan selainnya mengatakan bahwa ‘Ashim adalah munkarul hadits (sering membawa hadits munkar).

Dari sini nampak dari sisi sanad terdapat rawi yang lemah sehingga secara sanad, hadits ini sanadnya lemah.
Ringkasnya, hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if).

Kemudian beberapa ulama menghasankan hadits ini seperti At-Tirmidzi. Beliau mengatakan bahwa hadits ini hasan. Kemungkinan beliau mengangkat hadits ini ke derajat hasan karena ada beberapa riwayat yang semakna yang mungkin bisa dijadikan penguat. Mari kita lihat hadits kedua dan ketiga.

Penilaian hadits kedua:

Para perowi hadits kedua ada lima,

حدثنا جبارة ، حدثنا يحيى بن العلاء ، عن مروان بن سالم ، عن طلحة بن عبيد الله ، عن حسين

yaitu: Jubaaroh, Yahya bin Al ‘Alaa’, Marwan bin Salim, Tholhah bin ‘Ubaidillah, dan Husain.

Jubaaroh dinilai oleh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi dho’if (lemah).
Yahya bin Al ‘Alaa’ dinilai oleh Ibnu Hajar orang yang dituduh dusta dan Adz Dzahabi menilainya matruk (harus ditinggalkan).
Marwan bin Salim dinilai oleh Ibnu Hajar matruk (harus ditinggalkan), dituduh lembek dan juga dituduh dusta.
Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321 menilai bahwa Yahya bin Al ‘Alaa’ dan Marwan bin Salim adalah dua orang yang sering memalsukan hadits.

Dari sini sudah dapat dilihat bahwa hadits kedua ini tidak dapat menguatkan hadits pertama karena syarat hadits penguat adalah cuma sekedar lemah saja, tidak boleh ada perowi yang dusta. Jadi, hadits kedua ini tidak bisa mengangkat derajat hadits pertama yang dho’if (lemah) menjadi hasan.

Penilaian hadits ketiga:

Para perowi hadits ketiga ada delapan,

وأخبرنا علي بن أحمد بن عبدان ، أخبرنا أحمد بن عبيد الصفار ، حدثنا محمد بن يونس ، حدثنا الحسن بن عمر بن سيف السدوسي ، حدثنا القاسم بن مطيب ، عن منصور ابن صفية ، عن أبي معبد ، عن ابن عباس

yaitu: Ali bin Ahmad bin ‘Abdan, Ahmad bin ‘Ubaid Ash Shofar, Muhammad bin Yunus, Al Hasan bin Amru bin Saif As Sadusi, dan Qosim bin Muthoyyib, Manshur bin Shofiyah, Abu Ma’bad, dan Ibnu Abbas.
Al Baihaqi sendiri dalam Syu’abul Iman menilai hadits ini dho’if (lemah). Namun, apakah hadits ini bisa jadi penguat hadits pertama tadi? Kita harus melihat perowinya lagi.

Perowi yang menjadi masalah dalam hadits ini adalah Al Hasan bin Amru.

Al Hafidz berkata dalam Tahdzib At Tahdzib no. 538 mengatakan bahwa Bukhari berkata Al Hasan itu kadzdzab (pendusta) dan Ar Razi berkata Al Hasan itu matruk (harus ditinggalkan). Sehingga Al Hafidz berkesimpulan bahwa Al Hasan ini matruk (Taqrib At Tahdzib no. 1269).

Kalau ada satu perowi yang matruk (yang harus ditingalkan) maka tidak ada pengaruhnya kualitas perowi lainnya sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan penguat bagi hadits pertama tadi.

Ringkasnya, hadits kedua dan ketiga adalah hadits maudhu’ (palsu) atau mendekati maudhu’.
(Takhrij ketiga hadits di atas adalah faedah dari guru kami Ustadz Abu Ali. Semoga Allah selalu merahmati dan menjaga beliau)

Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa hadits pertama tadi memang memiliki beberapa penguat, tetapi sayangnya penguat-penguat tersebut tidak bisa mengangkatnya dari dho’if (lemah) menjadi hasan. Maka pernyataan sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits ini hasan adalah suatu kekeliruan. Syaikh Al Albani juga pada awalnya menilai hadits tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang hasan. Namun, akhirnya beliau meralat pendapat beliau ini sebagaimana beliau katakan dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321

Jadi kesimpulannya, hadits yang membicarakan tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah sehingga tidak bisa diamalkan.

Seorang ahli hadits Mesir masa kini yaitu Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini hafizhohullah mengatakan,

Hadits yang menjelaskan adzan di telinga bayi adalah hadits yang lemah. Sedangkan suatu amalan secara sepakat tidak bisa ditetapkan dengan hadits lemah. Saya telah berusaha mencari dan membahas hadits ini, namun belum juga mendapatkan penguatnya (menjadi hasan).” (Al Insyirah fi Adabin Nikah, hal. 96, dinukil dari Hadiah Terindah untuk Si Buah Hati, Ustadz Abu Ubaidah, hal. 22-23)

Penutup

Dalam penutup kali ini, kami ingin menyampaikan bahwa memang dalam masalah adzan di telinga bayi terdapat khilaf (perselisihan pendapat). Sebagian ulama menyatakan dianjurkan dan sebagiannya lagi mengatakan bahwa amalan ini tidak ada tuntunannya. Dan setelah membahas penilaian hadits-hadits tentang dianjurkannya adzan di telinga bayi di atas terlihat bahwa semua hadits yang ada adalah hadits yang lemah bahkan maudhu’ (palsu). Kesimpulannya, hadits adzan di telinga bayi tidak bisa diamalkan sehingga amalan tersebut tidak dianjurkan.

Jika ada yang mengatakan, “Kami ikut pendapat ulama yang membolehkan amalan ini.”
 
Cukup kami sanggah,

“Ingatlah saudaraku, di antara pendapat-pendapat yang ada pasti hanya satu yang benar. Coba engkau memperhatikan perkataan para salaf berikut ini.

Ibnul Qosim mengatakan bahwa beliau mendengar Malik dan Al Laits berkata tentang masalah perbedaan pendapat di antara sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah tepat perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan pendapat) boleh-boleh saja (ada kelapangan). Tidaklah seperti anggapan mereka. Di antara pendapat-pendapat tadi pasti ada yang keliru dan ada benar.”
Begitu pula Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik ditanya mengenai orang yang mengambil hadits dari seorang yang terpercaya dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau ditanya, “Apakah engkau menganggap boleh-boleh saja ada perbedaan pendapat (dalam masalah ijtihadiyah, pen)?”
Imam Malik lantas menjawab, “Tidak demikian. Demi Allah, yang diterima hanyalah pendapat yang benar. Pendapat yang benar hanyalah satu (dari berbagai pendapat ijtihad yang ada). Apakah mungkin ada dua pendapat yang saling bertentangan dikatakan semuanya benar [?] Tidak ada pendapat yang benar melainkan satu saja.” (Dinukil dari Shohih Fiqh Sunnah, 1/64)

Demikian suadaraku, penjelasan mengenai adzan di telinga bayi. Semoga dengan penjelasan pada posting kali ini, kaum muslimin mengetahui kekeliruan yang telah berlangsung lama di tengah-tengah mereka dan semoga mereka merujuk pada kebenaran. Semoga tulisan ini dapat memperbaiki kondisi kaum muslimin saat ini.
 
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumman fa’ana bimaa ‘allamtana, wa ‘alimna maa yanfa’una wa zidnaa ‘ilmaa. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Keterangan:
 
Hadits shohih adalah hadist yang memenuhi syarat: semua periwayat dalam hadits tersebut adalah adil, dhobith (kuat hafalannya), sanadnya bersambung, tidak menyelisihi riwayat yang lebih kuat, dan tidak ada illah (cacat).
 
Hadits hasan adalah hadits yang memenuhi syarat shohih di atas, namun ada kekurangan dari sisi dhobith (kuatnya hafalan).
 
Hadits dho’if (lemah) adalah hadits yang tidak memenuhi syarat shohih seperti sanadnya terputus, menyelisihi riwayat yang lebih kuat (lebih shohih) dan memiliki illah (cacat).
 
Hadits maudhu’ (palsu) adalah hadits yang salah satu perowinya dinilai kadzdzib (pendusta) yakni berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
 
Hadits matruk (yang harus ditinggalkan) adalah hadits yang salah satu perowinya dituduh kadzib (berdusta).

Panggang, Gunung Kidul, 28 Muharram 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal


http://rumaysho.wordpress.com/2009/01/27/anjuran-adzan-di-telinga-bayi-yang-baru-lahir/ 

Telaah Hadis – Anjuran Azan dan Iqamah Untuk Bayi

Telaah Hadis – Sunnah Azan dan Iqamah Untuk Bayi






Ada sebuah hadis yang disandarkan kepada Rasulllah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mengadzani atau iqamah bayi yang banyak tersebar dan diamalkan oleh masyarakat nusantara. Namun hadis ini diragukan oleh para ulama mengenai keshahihannya. Berikut pembahasannya:

Barang siapa yang kelahiran anak, lalu adzan di telinga kanannya dan iqomat di telinga kirinya, maka setan tidak akan membahayakannya.”


Derajat hadis : Palsu

Diriwayatkan oleh Abu Ya’la (6780), Ibnu Sunni (623), Ibnu Adi (7:2656), Baihaqi dalam Syu’ab (8619), dan Ibnu Asakir (57:280), dari Yahya bin Ala, dari Marwa bin Salim, dari Tholhah bin Ubaidillah, dari Husain secara marfu.

Sisi kelemahannya adalah Yahya bin Ala’ yang dituduh para ulama sebagai pemalsu hadis. Juga Marwan bin Salim, seorang yang tertuduh berdusta dan hadisnya sangat munkar sekali. Oleh karena itu, hadis ini dilemahkan oleh Ibnu Adi, Baihaqi, dan Al-Haitsami, serta dianggap palsu oleh Al-Munawi dan Al-Albani.

Yang mirip juga dengan hadis ini adalah:

“Dari Abu Rofi’ maula Rasulullah berkata, “Saya melihat Rasulullah adzan sebagaimana untuk shalat di telinga Hasan bin Ali saat dilahirkan oleh Fathimah.”

Derajat: Lemah

Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (7986), Ahmad (6:90), Abu Dawud (5105), Tirmidzi (1514), dan lainnya. Sisi kelemahan hadis ini adalah Ashim bin Ubaidillah, orang yang lemah. Inilah cacat hadis ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hibban, Baihaqi, Mundziri, Adz-Dzahabi, Ibnu Turkumani, dan Al-Albani.

Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh Imam Tirmidzi sebagai hadis hasan dan Imam Hakim berkata bahwa sanadnya shahih, yang benar adalah tidak hasan dan tidak shahih.
(Lihat Takhrij Adzkar, Hal. 512)

Sumber: Hadis Lemah dan Palsu yang Populer di Indonesia, Ahamad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf, Pustaka Al Furqon, Cetakan: III 1430 H.

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Doa Untuk Bayi yang Baru Lahir

Doa Untuk Bayi yang Baru Lahir

Pertanyaan:
Ustadz, saya ingin tahu doa untuk mendoakan anak yang baru lahir yang shahih apa? Besarta teks Arab dan terjemahan Indonesianya?
Dari: Neli

Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Kita dianjurkan untuk mendoakan anak yang baru lahir diantaranya:

Pertama, memohon keberkahan untuk si anak.

Dari Abu Musa radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

وُلِدَ لِي غُلاَمٌ، فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ، فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ، وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ، وَدَفَعَهُ إِلَيَّ

“Ketika anakku lahir, aku membawanya ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memberi nama bayiku, Ibrahim dan men-tahnik dengan kurma lalu mendoakannya dengan keberkahan. Kemudian beliau kembalikan kepadaku. (HR. Bukhari 5467 dan Muslim 2145).

Hal yang sama juga dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada putra Asma bintu Abu Bakr, yang bernama Abdullah bin Zubair. Sesampainya Asma hijrah di Madinah, beliau melahirkan putranya, Abdullah bin Zubair. Bayi inipun dibawa ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Asma mengatakan,

ثُمَّ دَعَا بِتَمْرَةٍ فَمَضَغَهَا، ثُمَّ تَفَلَ فِي فِيهِ، فَكَانَ أَوَّلَ شَيْءٍ دَخَلَ جَوْفَهُ رِيقُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ دَعَا لَهُ، وَبَرَّكَ عَلَيْهِ

“..Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minta kurma, lalu beliau mengunyahnya dan meletakkannya di mulut si bayi. Makanan pertama yang masuk ke perut si bayi adalah ludah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau mendoakannya dan dan memohon keberkahan untuknya.” (HR. Bukhari 3909).

Teks Doa Memohon Keberkahan

Tidak ada teks doa khusus yang isinya permohonan berkah untuk anak.

Dalam Fatawa Syabakah Islam dinyatakan,

فليس هناك دليل – فيما نعلم – يدل على مشروعية قراءة شيء من القرآن، أو الأدعية عندما يولد الطفل، سواء من قبل الأم، أو من قبل الأب، أو من قبل غيرهما

Tidak terdapat dalil – sepengetahuan kami – yang menunjukkan dianjurkannya membaca ayat Al-Quran atau doa tertentu ketika seorang anak dilahirkan. Baik dao dari ibunya, bapaknya, atau doa dari orang lain. [Fatawa Syabakah Islam, di bawah bimbingan Dr. Abdullah Al-Faqih, no. 13605].

Karena itu, kita bisa berdoa dengan bahasa apapun yang kita pahami. Misalnya dengan membaca, Baarkallahu fiik (semoga Allah memberkahi kamu) atau semacamnya.

Kedua, memohon perlindungan dari godaan setan.

Salah satu diantara contoh hal ini adalah apa yang dipraktekkan oleh istri Imran, yang merupakan ibunya maryam. Allah menceritakan kejadian ketika istri Imran melahirkan Maryam,

فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَى وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.” (QS. Ali Imran: 36).

Satu hal yang istimewa, karena doa ibunda Maryam ini, ketika Maryam lahir, dia tidak diganggu setan, demikian pula ketika Nabi Isa dilahirkan. Allah mengabulkan doa ibunya Maryam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ بَنِي آدَمَ مَوْلُودٌ إِلَّا يَمَسُّهُ الشَّيْطَانُ حِينَ يُولَدُ، فَيَسْتَهِلُّ صَارِخًا مِنْ مَسِّ الشَّيْطَانِ، غَيْرَ مَرْيَمَ وَابْنِهَا

Setiap bayi dari anak keturunan adam akan ditusuk dengan tangan setan ketika dia dilahirkan, sehingga dia berteriak menangis, karena disentuh setan. Selain Maryam dan putranya. (HR. Bukhari 3431). Kemudian Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, membaca surat Ali Imran ayat 36 di atas.

Kita bisa meniru doa wanita sholihah, istri Imran ini. Hanya saja, perlu disesuaikan dengan jenis kelamin bayi yang dilahirkan. Karena perbedaan kata ganti dalam bahasa arab antara lelaki dan perempuan.

a. Jika bayi yang dilahirkan perempuan, Anda bisa baca,

اَللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

b. Jika bayi yang lahir laki-laki, kita bisa membaca,

اَللَّهُمَّ إِنِّي أُعِيذُهُ بِكَ وَذُرِّيَّتَهُ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Artinya dua teks doa ini sama,
“Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu untuknya dan untuk keturunannya dari setan yang terkutuk.”

Kita juga bisa memohon perlindungan untuk anak dari gangguan setan, dengan doa seperti yang pernah dipraktekkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mendoakan cucunya: Hasan dan Husain.
Ibnu Abbas menceritakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakan doa perlindungan untuk kedua cucunya,

أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ

Aku memohon perlindungan dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari semua godaan setan dan binatang pengganggu serta dari pAndangan mata buruk. (HR. Abu Daud 3371, dan dishahihkan al-Albani).

Kita bisa meniru doa beliau ini, dengan penyesuaian jenis kelamin bayi.

a. Jika bayi yang dilahirkan perempuan, Anda bisa baca,

أُعِيذُكِ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ

U’iidzuki …..

b. Jika bayi yang lahir laki-laki, kita bisa membaca,

أُعِيذُكَ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ، مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ، وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ

U’iidzuka …..

Berbeda pada kata ganti; ‘…ka’ dan ‘…ki’

Allahu a’lam

Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Menyambut Kelahiran Si Buah Hati

Menyambut Kelahiran Si Buah Hati

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Amma ba’du:
Berikut ini hukum-hukum penting seputar bayi yang baru lahir; dan apa saja yang perlu dilakukan terhadapnya. Kami meminta kepada Allah agar risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamin.

A. Ketika lahir

 

1. Dianjurkan memberikan kabar gembira dengan kelahiran seorang anak. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Taala:
Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedangkan ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab (ia berkata): “Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya”. (QS. Ali Imraan: 39)

2. Mentahnik (mengunyah buah kurma, lalu mengolesinya ke langit-langit mulut si bayi, atau jika tidak ada dengan madu) dan mendoakan keberkahan untuknya (seperti mengucapkan “Baarakallahu fiih”).

عَنْ أَبِى مُوسَى – رضى الله عنه – قَالَ : وُلِدَ لِى غُلاَمٌ ، فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ ، فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ ، وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ.

Dari Abu Musa ia berkata: Anak saya lahir, lalu saya membawanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, kemudian Beliau menamainya Ibrahim, mentahkniknya dengan kurma dan mendoakan keberkahan untuknya.” (HR. Bukhari)

B. Pada hari ketujuh (hari lahir dihitung sebagai hari pertama)


1. Mencukur habis rambutnya (baik anak laki-laki maupun anak perempuan) dan bersedekah kepada orang-orang miskin dengan perak atau senilainya sesuai berat rambutnya ketika ditimbang. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada Fathimah saat ia melahirkan Al Hasan:

يَا فَاطِمَةُ اِحْلِقِيْ رَأْسَهُ وَتَصَدَّقِيْ بِِزِنَةِ شَعْرِهِ فِضَّةً

Wahai Fathimah! Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah sesuai berat rambutnya dengan perak.” (HR. Ahmad, Malik, Tirmidzi, Hakik, dan Baihaqi, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzi no. 1226)

Dalam mencukur anak, kita dilarang mencukur dengan model qaza’ (mencukur sebagian kepala dan meninggalkan sebagian yang lain). Termasuk qaza’ adalah:
  • Mencukur secara acak.
  • Mencukur bagian tengah kepala dan meninggalkan pinggir-pinggirnya.
  • Mencukur pinggir-pinggir kepala dan meninggalkan bagian tengahnya.
  • Mencukur bagian depan kepala dan meninggalkan bagian belakang.
2. Memberinya nama (bisa dilakukan pada hari lahirnya, hari ketiga atau hari ketujuh), dan hendaknya seorang bapak memilih nama yang baik untuk anaknya. Ciri nama yang baik adalah enak didengar, mudah diucapkan oleh lisan, mengandung makna yang mulia dan sifat yang benar dan jujur, jauh dari segala makna dan sifat yang diharamkan atau dibenci agama, seperti nama asing yang tidak jelas, tasyabbuh (menyerupai) nama orang-orang kafir dan nama yang memiliki arti buruk.

=> Tingkatan nama-nama yang dicintai
a. Menamai anak dengan nama Abdullah atau Abdurrahman. Ini adalah nama yang paling dicintai Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Inna ahabba asmaaikum ilallah Abdullah wa Abdurrahman,” (artinya: Sesungguhnya namamu yang paling dicintai Allah adalah ‘Abdullah dan Abdurrahman). (HR. Muslim).

b. Nama “abdu..(penghambaan)” yang disambungkan dengan Asma’ul Husna selain yang tersebut di atas. Seperti Abdul ‘Aziz, Abdul Malik, dsb.

c. Menamai anak dengan nama-nama nabi dan rasul. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah menamai sebagian sahabat dengan nama nabi dan rasul.

d. Menamai anak dengan nama orang-orang salih, seperti dengan nama sahabat, tabi’in dan imam kaum muslimin.

e. Segala nama yang mencerminkan kejujuran dan kebaikan manusia.

=>Nama-nama yang dilarang
a. Menamai anak dengan nama yang menunjukkan penghambaan kepada selain Allah, seperti Abdul Ka’bah, Abdusy Syams, Abdul Husain dsb.

b. Memberi nama dengan nama-nama yang khusus bagi Allah, seperti Ar Rahman, Al Khaaliq, Ar Rabb dsb.

c. Menamai anak dengan nama-nama patung atau berhala yang disembah selain Allah, seperti Latta, Uzza, Hubal, Brahma, Wisnu, Syiwa, Dewa dan Dewi.

d. Nama yang mengandung klaim dusta, mengandung unsur kebohongan yang berlebihan, atau nama yang isinya mentazkiyah (menganggap suci) dirinya. Termasuk ke dalamnya nama “Malikul Amlaak” (rajanya para raja), “Syaahan Syaah” (penguasa para penguasa), “Sulthaanus salaathin” (sultannya para sultan), “Abul Hakam” (bapak penyelesai masalah), Qaadhil qudhaat (hakimnya para hakim) dsb.

e. Nama-nama setan, seperti Iblis, Ifrit, Khinzib, dsb.

f. Nama-nama asing yang berasal dari orang-orang kafir yang merupakan ciri khas mereka, misalnya Petrus, George, Suzan, Diana, Robert dsb.

=> Nama-nama yang makruh
a. Nama yang membuat hati menjauh, seperti Harb (perang), Murrah (pahit), Khanjar (pisau). Demikian juga nama-nama penyakit, seperti Suham (penyakit unta), suda’ (pusing), Dumal (bisul) dsb.

b. Menamai anak dengan nama yasaar, rabaah (untung), Najih (sukses), barakah (berkah) dan aflah (beruntung). Karena ada larangan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sebabnya jika ada orang yang menanyakan, “Adakah si barakah?” jika dijawab: “Tidak ada”, maka terkesan tidak ada keberkahan.

c. Nama-nama yang mungundang syahwat, terutama bagi para wanita. Seperti fatin atau fitnah (penggoda), Syadiyah (penyanyi merdu).

d. Nama yang menunjukkan makna maksiat, seperti zalim, sariq (pencuri), fasik, bakhil dsb.

e. Nama orang-orang fasik, artis atau bintang film dan penyanyi.

f. Nama-nama binatang, seperti khimar (keledai), kalb (anjing), Hansy (lalat), Qunfudz (landak) dsb.

g. Nama-nama dobel, seperti Ahmad Muhammad, Sa’id Ahmad dsb. seharusnya jika hendak menyebutkan bapaknya, ia tambahkan “bin/ibnu” (putra).

h. Sebagian ulama juga membenci pemberian nama dengan nama-nama malaikat, seperti Jibril, Mikail dsb. Mereka juga memakruhkan memberi nama dengan namasuratdalam Al Qur’an, seperti Thaha, Haamiiim, Yasin.

Catatan: Jika seseorang sudah terlanjur memiliki nama yang buruk tidak ada salahnya segera mengganti sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengganti nama sebagian sahabatnya dengan nama yang baik.

3. Mengkhitannya,
Khitan termasuk sunanul fithrah (sunnah  para nabi), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
 
« الْفِطْرَةُ خَمْسٌ – أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ – الْخِتَانُ وَالاِسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ » .

Fitrah itu ada lima atau lima bagian fitrah, yaitu, “Berkhitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis.” (Muttafaq ‘alaih)

Khitan hukumnya wajib bagi laki-laki, karena ia merupakan sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan kita diperintahkan mengikutinya, di samping itu khitan termasuk syi’ar yang membedakan kita dengan non muslim. Khitan bagi wanita merupakan keutamaan bagi mereka, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda kepada sebagian wanita tukang khitan di Madinah:

اِخْفِضِيْ وَلَا تُنْهِكِيْ ، فَإِنَّهُ أَنْضَرُ لِلْوَجْهِ ، وَأَحْظَى لِلزَّوْجِ

Rendahkanlah dan jangan berlebihan, karena yang demikian dapat mengindahkan muka dan menyenangkan suami.” (shahih, HR. Abu Dawud, al-Bazzar, Thabrani dll, lih. Silsilah ash-Shahiihah 2:353-358)

Ulama madzhab Syafi’i menganjurkan agar khitan dilakukan pada hari ketujuh. Demikian juga hendaknya khitan dilakukan tidak ketika anak mencapai masa baligh. Ibnul Qayyim berkata, “Tidak boleh bagi wali membiarkan anaknya tidak dikhitan hingga ia baligh.”

Kecuali jika sebelumnya ia non muslim, lalu masuk Islam atau tidak mengetahui hukum khitan, maka meskipun sudah dewasa, ia tetap disyari’atkan berkhitan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seseorang yang datang kepada Beliau menyatakan diri masuk Islam:

أَلْقِ عَنْكَ شَعْرَ الْكُفْرِ وَاخْتَتِنْ

Hilangkanlah rambut kekufuran dan berkhitanlah.” (HR. Abu Dawud dan isnadnya hasan)

4. Meng’aqiqahkannya.

C. Aqiqah

 

Aqiqah artinya hewan yang disembelih untuk bayi yang baru lahir. Aqiqah termasuk hak anak yang hendaknya dipenuhi orang tua. Hukumnya sunnah mu’akkadah (sunnah yang sangat ditekankan), Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَةٌ ، فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَماً وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى

Setiap anak hendaknya ada ‘aqiqah. Oleh karena itu, tumpahkanlah darah dan singkirkanlah kotoran.” (HR. Bukhari)

Maksud “tumpahkanlah darah” adalah dengan disembelihkan hewan untuknya. Sedangkan maksud “disingkirkan kotoran” adalah dengan dicukur rambutnya. Untuk anak laki-laki, disembelihkan dua ekor kambing yang sepadan (baik usia, jenis maupun fisiknya), sedangkan untuk anak perempuan satu ekor kambing.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا; , أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَمْرَهُمْ; أَنْ يُعَقَّ عَنْ اَلْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ, وَعَنْ اَلْجَارِيَةِ شَاةٌ -

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka (para sahabat) agar beraqiqah dua ekor kambing yang sepadan  untuk bayi laki-laki dan seekor kambing untuk bayi perempuan. (HR. Tirmidzi, dan ia menshahihkannya)
Jika tidak sanggup dua ekor kambing untuk bayi laki-laki, maka tidak mengapa seekor kambing.

Waktu ‘aqiqah adalah pada hari ketujuh, jika tidak bisa maka pada hari keempat belas dan jika tidak bisa, maka pada hari kedua puluh satu. Imam Ahmad berkata: “Disembelih pada hari ketujuh, jika tidak dilakukannya, maka pada hari keempat belas dan jika tidak dilakukannya, maka pada hari kedua puluh satu.”[1]

Catatan seputar ‘aqiqah:
  • Ø Ahkam (hukum seputar) hewan yang di’aqiqahkan sama dengan hewan udh-hiyyah (kurban), baik usianya, selamatnya dari cacat, maupun pembagiannya. Hanya saja dalam ‘aqiqah tidak berlaku musyaarakah (patungan).
Jika kambing maka usianya setahun atau lebih, tidak boleh usianya kurang dari yang disebutkan. Jika berupa biri-biri/domba maka yang usianya setahun atau lebih di atas itu. Namun jika tidak ada biri-biri yang usianya setahun maka boleh yang mendekati setahun.

Untuk pembagiannya juga sama seperti pembagian kurban, yakni dianjurkan membagi-bagikan kurban menjadi tiga bagian. Misalnya sepertiga dimakan orang yang berkurban, sepertiga disedekahkan kepada orang fakir dan sepertiga lagi untuk dihadiahkan kepada kerabat atau tetangga.
  • Ø Dianjurkan tulang hewan aqiqah yang sudah disembelih tidak dipatah-patahkan atau dipecahkan. Dalam hadits disebutkan:
وَكُلُوْا وَأَطْعِمُوْا وَلاَ تَكْسِرُوْا مِنْهَا عَظْماً وَكَانَ يَقُوْلُ : تُقْطَعُ جُدُوْلاً وَلاَ يُكْسَرُ لَهَا عَظْمٌ

Makanlah, berikanlah kepada orang lain dan janganlah kamu pecahkan tulangnya, Beliau juga bersabda: “Dipotong anggota badannya, namun tulangnya tidak dipecahkan.” (HR. Hakim dalam Mustadrak, ia berkata “Shahih isnadnya” dan disepakati oleh adz-Dzahabiy, namun dianggap cacat oleh Syaikh al-Albani)

Namun karena hadits ini dianggap cacat, maka kembali kepada hukum asal, yaitu boleh dipatah-patahkan.

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Marwan bin Musa
Artikel www.KonsultasiSyariah.com

Keterangan:
[1] Menurut Penyusun al-Fiqhul Muyassar (hal. 196), bahwa waktu boleh menyembelih hewan ‘aqiqah dimulai dari lepasnya janin dari perut ibunya dan berlangsung anjuran menyembelihnya sampai baligh, hanyasaja disunatkan menyembelihnya pada hari ketujuh dari kelahiran berdasarkan hadits Samurah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “

كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya; disembelih untuknya pada hari ketujuh, dicukur dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud).

Jumat, 05 April 2013

Setengah Isi Setengah Kosong


By : Ustadz Reza Syafiq Basalamah.


JIKA ISTRI MINTA CERAI ...

Ketahuliah bahwa orang tuanya telah menyerahkan dia sepenuhnya kepadamu.

Tanpa ada paksaan, bahkan engkaulah yang melamar dan memintanya, tanpa intimidasi.

Dan dirimu telah menerima semua beban yang diserahkan dengan ucapanmu:

"Aku terima nikah dan kawinnya dengan mahar yang disebutkan."

Hanya dengan sebuah ucapan ia menjadi milikmu.

Dan kau menerimanya, Menerima wanita itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Padahal….
Kamu tidak pernah turut andil dalam melahirkannya ke dunia ini.
Ibunya selama 9 bulan dengan penuh lemah di atas kelemahannya mengandung istrimu itu.

Kamu tidak pernah turut campur dalam membesarkan dan merawatnya.

Kamu juga tidak pernah merasakan suka duka dalam membesarkan wanita yang sekarang menjadi istrimu.

Dan tatkala Kau datang untuk meminangnya, moment itu adalah suatu hal yang cukup berat bagi Orang tua.

Anak yang dicintai dan dibesarkan akan dilepas dari dekapan mereka

Diserahkan kepadamu, yang entah merekapun tidak dapat memastikan, bagaimana kelak hidupnya bersamamu.

Namun karena perintah ilahi dan amaran Rabbi, dengan segala resiko yang harus diterima, kaupun dinikahkan.

Dengan satu harapan kau dapat menggantikan posisi keduanya, merawat, menjaga, mencintai dan membuatnya bahagia.

Sekarang kenapa dia minta cerai???

Suatu pilihan yang tidak mudah bagi seorang wanita.
Maka Koreksilah dirimu!

Ingatlah kau juga manusia yang tak luput dari dosa
Bila dia berbuat salah, kaupun juga pernah.

Mungkin kau tidak lagi memperhatikannya
Mungkin kau sudah lupa dengan amanat yang Allah berikan padamu
Mungkin ada kata-katamu yang menyakiti hatinya.
Ada tingkahmu yang menoreh luka.
Mungkin kau sudah tak dekat lagi kepada Sang pencipta.

Carilah jawaban-jawaban, untuk kenapa istrimu meminta cerai
Perbaiki dirimu

Mintalah maaf padanya,!
Berjanjilah kau akan berusaha untuk lebih baik untuknya
Katakan cintamu tak pernah pudar, namun kesibukan yang melalaikanmu

Bukalah lembaran baru kembali, Seperti tatkala kau menerimanya dari Ayahnya.

Dan katakan:
" in sya Allah kita akan terus bersama sampai ajal yang memisahkan dan berjumpa kembali di pintu surga"

Tulislah sebuah surat dan katakan:

"Maafkan bila aku terus mencintaimu.

Tapi bisakah kau menghentikan badai?
Aku tak bisa.
Aku bahkan tak kuasa membendung gemuruh di hatiku sendiri .
Aku ingin bersamamu
SELAMANYA"

Finish…. insyaAllah bahtera kembali berlayar dengan derpaan angin sepoi-sepoi..

copas Ummu Ibrahim Titin Rimawati

http://www.youtube.com/watch?v=p3YjEeV0lmw&feature=youtu.be